Kisah Inspiratif

Kisah Cinta Ali dan Fatimah
Ali adalah anak dari paman Nabi Muhammad SAW yaitu Abi Thalib. Sebut saja, Ali adalah sepupu Rasul. Abi Thalib sangat sayang kepada Rasul. Sepeninggal orang tua Rasul, Abi Thaliblah yang merawat Rasul, bahkan selalu membela Rasul dalam memperjuangkan dakwah Islam. Walaupun hingga ajalnya, Abi Thalib wafat bukan sebagai muslim. Rasul sangat sedih mengenai hal itu.
       Sejak kecil, Ali tinggal bersama Rasul. Kalau tidak salah semenjak umur Ali 7 tahun. Ali merupakan satu dari orang-orang yang pertama masuk Islam dan dia adalah yang paling muda diantara yang lain. Dia termasuk tokoh Islam atau sahabat Rasul yang sangat berperengaruh dan berjasa. Ali adalah pemuda yang gagah, tampan, kuat, dan cerdas. Bahkan, Rasul pernah berkata jikalau Rasul adalah sebuah gudang ilmu maka Ali lah gerbang untuk memasuki gudang tersebut.
       Sepeninggal Rasul, Islam dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ali menjadi Khulafaur Rasyidin setelah Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Ktaththab, dan Utsman bin Affan.
       Sementara itu, Fatimah az-Zahra adalah putri kesayangan Rasul dari pernikahan beliau dengan istro pertamanya, Siti Khadijah binti Khuwailid. Khadijah adalah seorang saudagar kaya yang cantik dan berakhlak mulia. Menurut berbagai riwayat, Khadijah adalah orang yang paling pertama masuk Islam. Khadijah sangat setia dan rela berkorban apa pun demi Rasul dan Islam. Rasul pun sangat sayang kepada Khadijah. Selama Rasul menjadi suami Khadijah, Rasul tidak memadu Khadijah dengan perempuan lain. Ketika Khadijah meninggal, Rasul sangat bersedih, begitu pula dengan Fatimah.
Fatimah adalah perempuan yang tegar, cantik, baik, dan lembut. Sebagai anak yang berbakti kepada ayahnya, Fatimah lah yang mengurus Rasul sejak Khadijah meninggal, sampai Rasul menikah lagi. Sampai suatu ketika, saat Rasul menjelang wafat, Fatimah lah orang yang sangat bersedih jika Rasul meninggalkannya. Namun, Fatimah jugalah yang paling bahagia karena kata Rasul, sepeninggal Rasul, Fatimah lah yang pertama kali akan menyusul Rasul ke surge.
Sejak Ali ikut bersama Rasul dan keluarganya, otomatis Ali tinggal bersama Fatimah. Mereka berdua tinggal dan melewati hari-hari bersama sejak kecil. Hingga menjelang remaja, tumbuhlah rasa cinta di hati Ali terhadap Fatimah. Hatinya dipenuhi keinginan untuk selalu berada di samping Fatimah. Namun, Ali tidak bodoh. Dia adalah pemuda yang beriman. Ali berusaha untuk selalu menjaga hatinya. Dia pendam rasa itu bertahun-tahun. Dia simpan rasa itu jauh dalam lubuk hatinya, bahkan Fatimah pun tidak pernah tahu bahwa Ali menyimpan lama rasa cinta yang luar biasa untuknya.
Hingga ketika Ali telah dewasa dan telah siap untuk menikah, Ali [un berniat menghadap Rasul dengan tujuan ingin melamar putri Rasul yang tak lain adalah Fatimah, seorang perempuan yang sudah lama Ali kagumi. Namun sayang, niat Ali telah didahului oleh Abu Bakar yang sudah terlebih dahulu melamar Fatimah. Ali pun harus ikhlas bahwa cintanya selama ini berakhir pupus. Apalagi, Abu Bakar adalah sahabat setia Rasul yang sangat shaleh dan begitu sayang kepada Rasul, dan Rasul pun menyayanginya. Sementara Ali merasa dirinya hanyalah seorang pemuda yang miskin. Sungguh jauh bila dibandingkan dengan seorang mulia seperti Abu Bakar, pikirnya.
Rencana Allah memang sulit ditebak oleh manusia. Ternyata Rasul hanya diam ketika Abu Bakar melamar putri beliau. Maksudnya, Rasul menolak secara halus lamaran Abu Bakar, ali pun senang. Karena masih merasa memiliki kesempatan melamar Fatimah, Ali pun bergegas ingin segera melamar Fatimah sebelum di dahului lagi.
Namun, sungguh sayang sekali, lagi-lagi Ali di dahului oleh Umar. Lagi-lagi, hati Ali tersayat. Ali sangat bersedih. Sama seperti dengan Abu Bakar, Ali merasa taka da harapan lagi. Lagipula, apakah cukup dengan cinta dia akan melamr Fatimah? Karena dia hanyalah seorang pemuda biasa yang mengharapkan seorang putri Rasul yang luar biasa. Berbeda bila dibandingkan dengan Umar, seorang keturunan bangsawan yang gagah dan berkharisma. Dan, Ali yakin Fatimah pasti akan bahagia bersama Umar.
Maka, Ali pun hanya bisa bertawakal kepada Allah, semoga dikuatkan dengan derita cinta yang sedang dialaminya. Kali ini, Ali harus benar-benar ikhlas dan tegar mengahadapi kenyataan itu. Namun, Ali adalah pemuda yang shaleh. Dia pun yakin bahwa Allah Maha Adil. Pasti Allah sudah mempersiapkan pendamping hidup baginya. Derita cinta memang menyakitkan. “Aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah di atas cintaku”. Bisik Ali dalam hati.
Di saat Ali merasakan derita cintanya, tak disangka-sangka datanglah Abu Bakar dengan senyum indahnya memberitahu Ali untuk segera bertemu dengan Rasul karena ada yang ingin beliau sampaikan. Piker Ali, pasti ini tentang pernikahan Umar dengan Fatimah. Sepertinya Rasul meminta Ali untuk membantu persiapan pernikahan mereka. Ali pun menyemangati dirinya sendiri agar kuat dan tegar. Walaupun sebenarnya, hatinya sangat perih teriris-iris. Apalagi harus membantu mempersiapkan dan menyaksikan pujaan hatinya menikah dengan orang lain.
Sungguh rencana Allah memang yang paling indah. Setelah Ali bertemu Rasul, tak disangka, lamaran Umar bernasib sama dengan lamaran Abu Bakar. Ternyata, Rasul menginginkan Ali untuk menjadi suami Fatimah. Karena Rasul sudah lama tahu bahwa Ali telah lama memendam rasa cinta kepada putrinya. Ali sangat bahagia dan bersyukur. Dia pun langsung melamar Fatimah melalui Rasul. Namun, Ali malu kepada Rasul karena dia tak memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar. Apalagi sejak kecil dirinya dihidupi oleh Rasul.
Namun, sungguh mulia akhlak Rasul. Beliau tidak membebankan Ali. Rasul berkata bahwa nikahilah Fatimah walaupun hanya bermahar cincin besi. Akhirnya, Ali menyerahkan baju perangnya untuk melamar Fatimah. Rasul menerima lamaran itu. Fatimah pun mematuhi ayahnya serta siap menikah dengan Ali. Akhirnya, Ali pun menikah dengan Fatimah, perempuan yang telah lama dia cintai.
Kini, Fatimah telah menjadi istri Ali. Mereka telah halal satu sama lain. Beberapa saat setelah menikah dan siap melewati awal kehidupan bersama, yaitu malam pertama yang indah hingga menjalani hari-hari selanjutnya bersama, Fatimah berkata kepada Ali, “Wahai suamiku Ali, aku telah halal bagimu. Aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan,shaleh, cerdas, dan baik spertimu.”
Ali pun menjawab, “Aku pun begitu, wahai Fatimahku sayang. Aku sangat bersyukur kepada Allah, akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatan suci pernikahan denganmu.”
Fatimah berkata lagi dengan lembut, “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? Karena aku ingin terjalin komunikasi yang baik di antara kita dan kelanjutan rumah tangga kita.”
Kata Ali, “Tentu saja istriku, silahkan. Aku akan mendengarkanmu.”
Fatimah pun berkata, “Wahai Ali suamiku, maafkan aku. Tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang pemuda. Aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya, ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu. Kau adalah imamku, maka aku pun ikhlas melayani, mendampingi, mematuhi, dan menaatimu. Marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhai Allah.”
Sungguh bahagianya Ali mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama. Suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan shalihah. Namun, Ali juga terkejut dan sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya, ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa bersalah karena sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul yang tak lain adalah ayahnya Fatimah. Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya, yaitu Rasul dan mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
Namun, Ali memang pemuda yang sangat baik hati. Dia memang sangat bahagia telah menjadi suami Fatimah. Oleh karena rasa cintanya atas nama Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali pun merasa tidak tega jika hati Fatimah terluka. Karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan kini, Fatimah sedang merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan di dalam hatinya bercampur aduk. Di satu sisi dia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Namun, di sisi lain, Ali tahu bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak. Dia tidak menanggapi pernyataan Fatimah.
Fatimah lalu berkata, “Wahai Ali, suamiku sayang. Astaughfirullah, maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu. Demi Allah, aku hanya ingin jujur padamu.”
Ali masih saja terdiam. Bahkan, Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu. Melihat sikap Ali, Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usahlah kau pikirkan kata-kataku tadi.”
Ali tetap saja terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu. Kau juga tahu betapa bahagianya aku karena kau telah menjadi istriku. Namun, Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh, aku tak ingin orang yang kucintai tersakiti. Aku begitu merasa bersalah jika seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta padaku. Walaupun aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat sunguh-sungguh mencintaku. Namun, aku tak ingin melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku.”
Fatimah pun tersenyum haru mendengar kata-kata Ali. Ali diam sesaat sambil merenung. Tak terasa, mata Ali pun mulai meneteskan air mata. Lalu, dengan sangat tulus, Ali berkata, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu, tapi .aku belum menyentuh sedikitpun dari dirimu. Kau masih suci. Aku rela agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai itu. Aku akan ikhlas. Lagipula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi, aku tidak akan khawatir dia akan menyekitimu. Karena dia pasti akan membahagiakanmu. Aku tak ingin cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan. Sungguh aku sangat mencintaimu. Demi Allah, aku tak ingin kau terluka.”
Dan Fatimah meneteskan air mata sambil tersenyum menatap Ali. Fatimah sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali kepadanya. Cinta yang dilandaskan keimanan yang begitu kuat. Ketika itu juga, Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah, bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintamu itu? Aku berjanji tak akan meminta apapun darimu. Namun, izinkan aku mengetahui nama pemuda itu.”
Air mata Fatimah mengalir semakin deras. Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah berkata dengan tersedu-sedu, “Wahai Ali, demi Allah, aku sangat mencintaimu. Sungguh aku sangat mencintaimu karena Allah.” Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya.
Setelah emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu. Aku hanya ingin menggodamu. Sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah menikah.”
Ali menjadi bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun dia kesal dengan ulah Fatimah kepadanya, “Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah bilang kau sangat mencintaiku, dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikpaku. Apakah kau ingin mempermaikan aku Fatimah? Tolong sebut siapa pemuda itu? Mengapa kau mengharapkannya wakaupun dia sudah menikah?”
Fatimah lalu memeluk mersa lagi, lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu, aku memendamnya bertahun-tahun. Sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya. Tapi aku terlalu takut. Aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini. Aku pun tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta, apalagi dahulu aku sering bertemu dengannya. Hatiku bergetar bila kubertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali cintaku. Dia memang sudah menikah. Namun, tahukah engkau wahai sayangku? Pada malam pertama pernikahannya, dia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya.”
Ali pun agak bingung, tetapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali, “ Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang dia berada di sisiku. Aku sedang memeluk mesra pemuda itu. Namun, dia hanya diam. Padahal, aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja kepadanya. Aku sangat mencintainya dank au pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar. Dia juga sangat mencintaiku.
Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi maksudmu?”
Fatimah pun berkata, “Iya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku.”

Berubahlah mimik wajah Ali menjadi sangat bahagia dan membalas pelukan Fatimah dengan dekapan yang lebih mesra. Mereka masih agak malu-malu. Saling bertatapan lalu tersenyum dan tertawa cikikikan karena tak habis piker dengan ulah masing-masing. Mereka bercerita tentang kenangan-kenangan masa lalu dan berbagai hal. Malam itu pun mereka habiskan bersama dengan indah dalam dekapan Mahabbah-Nya yang suci.

Komentar