Hari terakhir Ujian Nasional, aku melihat Ara dalam perjalanan pulang.
Dan, aku memberanikan diri untuk mengejarnya.
Aku harus
menyelesaikan semuanya sekarang
“Ara ada yang
ingin aku sampaikan kepadamu, ingin aku bicarakan denganmu.”
Siang yang terik.
Beberapa orang murid terlihat lalu-lalang di hadapan kami.
“Tentang apa
Thar?”
“Tentang kamu
Ara, boleh aku tahu rencanamu stelah lulus sekolah?”
“Hmm, aku akan
melanjutkan kuliah di Jakarta. Belum pasti di mananya, terserah Ayah saja.
Kalau kamu?”
“Aku berniat
kuliah di Bandung. Mungkin aku bisa belajar menjadi seorang dosen di sana. Aku
juga ingin mengejar beberapa impianku yang lain di Bandung. Hmmm, rasanya aku
sangat hebat jika aku juga bisa menjadi seorang penulis, sekaligus komposer
juga, jadi penyanyi religi…”
“Impian yang
sangat hebat, Thar”
“Terima kasih
Aurora”
“Tidak biasanya
kamu memanggilku dengan panggilan Aurora”
“Aku suka namamu.
Sebuah nama yang indah”
Kami terdiam
beberapa saat
“Ara, ada satu
hal lagi yang ingin aku tanyakan”
“Apa yang ingin
ditanyakan?”
“Mengenai satu
hal yang pernah aku sampaikan dulu. Aku ingin tahu perasaanmu kepadaku seperti
apa.”
“Seberapa penting
hal itu untukmu?”
“Sangat penting
karena selalu menjadi pertanyaan besar dalam hatiku”
“Thar, bagiku seharusnya
ini bukan hanya sekedar perasaan. Ini adalah tentang cara kita memandang
kehidupan, cara kita menyakini sebuah takdir. Cara kita mengikuti kehendak
Allah, Sang Mahasutradara. Seperti apa perasaanku untuk saat ini menjadi tidak
penting.”
“Tapi aku sudah
yakin denganmu, Ara. Aku yakin kamulah wanita yang aku impikan pada masa depan.
Tolong katakana dengan jujur, bagaimana perasaanmu kepadaku?”
“Aku tak mau
sekedar mengikuti perasaan. Bukankah kita tidak tahu rencana Allah untuk kita
pada masa depan itu seperti apa? Kita sama-sama belum siap. Dan kita harus
mengakui itu.”
“Tapi, kesiapan
bisa diperjuangkan, Ara. Aku akan berjuang untuk itu. Aku akan menunggumu…”
“Tapi, kamu bukan
Tuhan yang bisa menjamin semua yang kamu katakana akan menjadi kenyataan. Aku
tahu kamu serius. Tapi, untuk saat ini, aku hanya akan menjadi penghalang bagi
mimpi-mimpi besarmu. Untuk saat ini aku hanya akan menjadi penghalang
perjuanganmu untuk lebih mengenal Allah”
Jawaban dari Ara
membuatku tak bisa berkata lagi. Kami berdua sejenak terdiam.
“Tak perlu
memikirkanku Athar. Jalan hidup kita masih sangat panjang. Kita tak akan pernah
bisa memastikan masa depan”
Suara Ara
beberapa detik kemudian serasa melumpuhkanku.
“Kita harus
saling melepaskan…
Kalimat Ara yang
terakhir membuat dadaku terasa semakin sesak
Dalam hati, ingin
sekali aku mengatakan semua kepadanya
Tapi… kamu adalah awal dari
semua mimpi-mimpi yang kini ingin aku kejar
Kamu juga awal untukku mampu
mengenal Allah
Dan, kamu, kamu juga bagian dari
mimpi-mimpiku itu, kamu adalah salah satu impian terbesarku…
Allah, haruskah aku melepaskan
dia?
Kami
masih terdiam. Namun, hatiku kini lebih siap untuk memberikan jawaban. Ah
tidak, aku memaksakan diri untuk menerima. Aku benar-benar memaksakan diri
berdamai dengan gemuruh perasaan dalam hati.
“Baiklah Ara.
Kamu benar, kamu sangat benar. Kita harus saling melepaskan. Aku mendoakanmu
bahagia pada masa depan. Jakarta telah menunggumu”
Terasa ada yang
semakin menghimpit dalam dadaku.
“Terima kasih
kamu mau mengerti. Bandung telah menantimu. Semoga kamu juga bahagia dan bisa
meraih semua mimpi-mimpi besarmu”
“Aamiin,” ujarku
pelan.
“Dan kumohon kita
tak perlu saling menunggu,” kata Ara kembali
“Baiklah, tak
perlu saling kontak, dan tak ada komitmen apa pun di antara kita,” kataku
“Jika suatu saat
nanti di Bandung atau di manapun kamu bertemu dengan seseorang yang kamu yakini
dia adalah istri terbaik untukmu, menikahlah dengan dia.”
“Baik… Jika suatu
saat di Jakarta atau di mana pun kamu bertemu dengan seseorang yang kamu yakini
dia adalah imam terbaik untukmu, menikahlah dengan dia.” kataku
Dengan hati
bergetar dan sakit aku mengatakannya
“Tapi, aku yakin
rencana Allah pasti lebih indah, jika kita berjodoh, suatu saat kita akan
bertemu kembali, dalam keadaan yang lebih pantas, lebih siap,” kata Ara.
“Pilihan Allah
pasti yang terbaik. Jika kita tidak berjodoh, Allah pasti akan memberikan
seseorang yang lebih baik untuk kita,” kataku
Entah mendapat
kekuatan darimana aku bisa mengucapkan semua ini kepada Ara. Namun, ada sisi
dalam hatiku yang mengatakan bahwa aku harus rela meski sisi yang lain
mengatakan sebaliknya.
“Mungkin sesekali
aku akan menyebut namamu dalam doaku,” kataku
“Mendoakan adalah
sebuah kebaikan karena kita tak mesti saling melupakan, bukan?,” balas Ara.
“Ya, kita tak
mesti saling melupakan”
Aku mencoba
tersenyum dalam kegetiranku. Ara tersenyum. Namun, kurasakan dadaku menjadi
semakin sesak. Senyuman itu menykitiku. Sore itu kepedihan hatiku terasa
mencapai puncaknya
Ya Allah… sampai kapan?
Melupakan sesuatu yang pernah menyakiti hati bukanlah jalan untuk
bahagia. Menerima kehendak-Nya dan mensyukuri setiap nikmat-Nya, itulah jalan
bahagia. Ikhlas itu memerlukan proses yang terkadang sulit, tetapi kalau kita
tidak berusaha untuk belajar ikhlas, hati kita akan menjadi sakit. Proses
mengikhlaskan terutama di awal itu memang terasa susah, tetapi jika kita
berhasil melakukannya, semuanya akan berakhir dengan indah.
Komentar
Posting Komentar